KISAH AGAMA AHMADIYAH (8/8)
Seperti Perancis dan Turkey, tapi tidak laku di Amerika, kecuali setelah Hakim Hugo Black melempar hal ini kedalam wacana publik.
Jeff Haynes, professor pada Department of Politics and Modern History di University of London, mencoba menganalisa. Ormas keagamaan menjadi aktor politik karena agama merasa terancam oleh kebijakan-kebijakan sekuler. Fenomena ini tersebar luas dan perlu kajian secara kasus per kasus. Konsekuensi dari intervensi itu bisa bermacam-macam. Agama terkadang menjadi sangat berperan dalam rekayasa politik. Demokrasi di Amerika Latin dan Eropah Timur tahun 80 an tidak lepas dari peran gereja Katholik.
Jika Jeff diminta komentar revolusi di Mesir baru-baru ini, ia pasti melihat peran agamawan Islam maupun Kristen Coptic sangat besar. Salat Jamaah para pendemo dan doa para pemimpin Coptic di Lapangan Tahrir adalah no comment new. Kesuksesan menumbangkan Hosni Mubarak dirayakan dengan sujud syukur, bukan dengan minum-minum atau dansa-dansi. Disitu agama menjadi etos kerja pendemo.
Fenomena yang disebut Jeff terjadi di Inggeris. Disana agama mulai menolak menjadi urusan pribadi. Gereja-gereja Katholik muncul kembali membawa suara moral, sosial dan bahkan politik. Pada tahun 1996 misalnya mereka menyebarkan pamflet berjudul The Common Good and the Catholic Church's Social Teaching. Pamflet itu adalah intervensi gereja terhadap konflek antara partai Buruh dan Konservatif. Menurut klaim mereka ini adalah kekuatan spiritual agama dan juga relevansi agama Katholik dengan demokrasi liberal, pluralisme, dan ekonomi pasar.
Memang dalam soal hubungan negara dan gereja Kristen berbeda dari Islam. Dalam Islam masjid bukan gereja dan tidak punya otoritas. Maka, sebenarnya, menurut P. J. Vatikiotis, (Lihat Islam and the State) apa yang dituntut gereja sebagai komunitas moral, penjaga hukum Tuhan, institusi kependetaan dan sekaligus komunitas politik lebih cocok dituntut oleh orang Islam. Hidup dalam worldview Islam sebagai realitas fisik adalah ekspresi kehendak Tuhan.
H. Dabashi (dalam T. Robbins & R. Robertson (eds.), Church-State Relations), bahkan tegas menyatakan "tidak ada dalilnya dalam Islam yang memisahkan kesalehan dengan politik, keduanya adalah perintah Tuhan. Meskipun dalam Islam otoritas agama dan politik dapat dipisahkan menjadi dua institusi sosial yang berdiri sendiri-sendiri, namun keduanya selalu berhuhungan. Jadi yang masih membela privatisasi agama jelas set back setengah abad atau bahkan tiga abad. Kini agama telah berubah dari interest pribadi menjadi publik, dari urusan institusi menjadi konstitusi. Itulah makna deprivatisasi agama yang akan terus dilawan oleh liberalisasi dan postmodernisasi. Wallahu a'lam
Ditulis oleh Dr.Fahmy Zarkasih
Sumber: http://www.insistnet.com/
Comments
Post a Comment