KISAH AGAMA AHMADIYAH (7/8)
DEPRIVATIZATION
Ketika Ahmadiyah ditolak oleh umat Islam Indonesia dan ketika Saksi Jehovah ditolak oleh umat Katholik dan Protestan, negara ikut campur menjadi wasit. Ketika gelombang penistiaan agama menyeruak di Amerika, pemerintah negara bagian Massachusetts di Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang yang menghukum dan mendenda penista agama. Pada saat Taslima Nasrin di Bangladesh menulis di koran The Statesman (tahun 1994) "…al-Qur'an harus direvisi secara menyeluruh" negara memfonis hukuman mati.
Empat tahun kemudian, Ghulam Akbar, menghina Nabi Muhammad dan segera dihukum mati. Tahun 2000 kelakuan Ghulam Akbar ditiru oleh Abdul Hasnain Muhammad Yusuf Ali pengadilan pemerintah propinsi Lahore memutuskan pun hukuman mati. Di Mesir seorang yang mengaku Nabi langsung dihukum mati dan selesai. Disini kisah-kisah itu membuktikan peran negara dalam menyelesaikan konflik agama mutlak perlu dan terus berjalan.
Bagi penganut sekularisme dan liberalisme kaaffah, negara tidak boleh ngurusi agama dan sebaliknya. Ini harga mati. Sebab agama dianggap sebagai domain pribadi. Privatisasi agama adalah sekularisasi. Sekularisasi telah menjadi tren sosial politik di Barat Eropah sejak abad Pencerahan (1720-1880). Setengah abad yang lalu Smith (1970-76) mendeklarasikan sekularisasi sebagai perubahan struktur dan ideologi yang sangat mendasar dalam proses pengembangan politik dan tren global modernisasi. Acuannya adalah figur-figur ilmuwan sosial abad 19 seperti Marx, Durkheim, Weber dsb. Jadi desakralisasi agama adalah satu paket dengan sekularisasi dan modernisasi masyarakat.
Ketika itu memang agama telah kehilangan relevansi sosial dan politiknya. Sebab politisi dari para pemuka agama semakin tidak cakap dan malah semakin tiranik. Kekuasaan tidak lagi ditangan agama, tapi ilmu. Dari situlah keluar jargon knowledge is power, ilmu adalah kekuasaan. Lebih-lebih kalangan gereja menganggap pemisahan itu hampir seperti keniscayaan. Doktrin gereja itu sudah dichotomis "berikan hak kaisar kepada kaisar dan hak tuhan kepada tuhan (Luke 21-25). Ditambah lagi suasana reformasi politik Eropah pada waktu itu begitu dominan sehingga ketegangan antara gereja dan negara adalah warna sejarah Eropah yang kelam.
Tapi tahun 1979 setelah terjadi revolusi Iran orang baru sadar bahwa tafsir modernisasi ternyata tidak tunggal dan kaku. Sejak saat itu agama dan politik yang sempat "talak tiga" di Eropah dan negara-negara jajahannya, rujuk kembali. Tapi masih dalam status nikah sirri. Orang mengakui tapi tidak berani terbuka. Tapi kenyataan sosial seperti mendorong kearah sentralisasi agama ke ruang publik.
Orang, misalnya bertanya-tanya mengapa Perdana Menteri Inggeris, David Cameron mesti sowan Paus Benedict ke XVI. Disitu ia mengungkapkan penyesalannya atas berkembangnya kultur relativisme dan sekularisme di Barat. Ia juga menghargai sikap Paus yang menurutnya telah menggugah semua negara untuk bangkit dan berfikir melawan itu.
Di Amerika tahun 60 an JF Kennedy menyatakan bahwa agama dan keyakinan Presiden adalah urusan pribadi dan tidak bisa diberlakukan kepada bangsa dan sebaliknya. 50 tahun kemudian senator Pennsylvania Rick Santorum menyanggahnya. Dalam kuliahnya di the University of St. Thomas, ia tegaskan pemisahan gereja dan negara secara mutlak bukan dan tidak pernah menjadi model Amerika. Itu hanya model yang dipakai oleh negara-negara
Comments
Post a Comment