KISAH AGAMA AHMADIYAH (3/8)


KRITIK TAFSIR AHMADIYAH


Konon, suatu ketika Imam Ali r.a. mengirim Ibnu Abbas untuk berdebat dengan kelompok Khawarij terkait pemahaman mereka yang keliru. Beliau berpesan agar Ibnu Abbas tidak mendebat mereka dengan ayat-ayat Al-Qur`an, sebab Al-Qur`an itu hammâlun dzû wujûh, mengandung berbagai kemungkinan penafsiran, yang boleh jadi dimanfaatkan oleh mereka untuk mencari pembenaran terhadap paham tersebut.

Memang, hampir semua paham dan aliran dalam Islam, termasuk yang keliru dan sesat, berlabuh pada Al-Qur`an. Tak terkecuali Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berafiliasi pada Ahmadiyah Qadianiyah internasional. Kelompok Qadian inilah yang menjadi sasaran SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung tahun 2008, agar mereka menghentikan penyebaran paham keagamaan yang menyimpang dari pokok ajaran Islam.


Dalam menyebarluaskan pemahamannya, JAI menerbitkan Al-Quran dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat.  Buku tersebut merupakan terjemahan edisi ringkas dari The English Commentary of The Holy Quran hasil suntingan Mirza Ghulam Farid atas "Tafsir Shaghir" karya Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, putra Mirza Ghulam Ahmad, yang bergelar Khalifatul Masih II, dan The Holy Quran with English Translation and Commentary. Edisi ini telah diterjemahkan ke dalam 100 bahasa dunia, termasuk Indonesia.


Seperti umumnya karya tafsir, Tafsir Jemaat Ahmadiyah banyak merujuk ke kitab tafsir yang populer di kalangan umat Islam seperti al-Kasysyâf, al-Bahr al-Muhîth dan lainnya, walaupun terkadang ditemukan kutipan yang tidak tepat atau sempurna, sehingga terkesan sekadar mencari pembenaran klaim tertentu yang sesungguhnya tidak terkandung dalam kutipan tersebut.


Tafsir itu juga menggunakan hadis sebagai penjelas Al-Qur`an dengan merujuk kitab-kitab hadis yang populer di kalangan umat Islam. Demikian juga pandangan para sahabat dan tabi`in sering dikutip dalam tafsir tersebut. Selain menggunakan tafsîr bi al-ma`tsûr (penafsiran dengan hadis, pandangan sahabat dan tabi`in), Tafsir Ahmadiyah menggunakan pendekatan tafsir isyâri, yaitu sebuah penafsiran yang berusaha menangkap isyarat yang terkandung di balik lafal/zahir ayat. Metode penafsiran ini banyak digunakan oleh kalangan sufi. Selain meyakini kebenaran makna zahir yang tersurat dari sebuah ayat, kaum sufi berkeyakinan ada makna lain yang tersirat di balik lafal. Berbeda dengan mereka, kelompok Bathiniyyah juga meyakini makna di balik teks, terutama yang sejalan dengan kepentingan mereka, tetapi meninggalkan makna zahir ayat.


Metode penafsiran bathiniyyah biasanya didahului oleh adanya pra-konsepsi, atau kecenderungan terhadap pandangan tertentu yang kemudian dicarikan pembenarannya dari Al-Qur`an. Memang, banyak kesalahan atau penyimpangan dalam tafsir terjadi karena menjadikan Al-Qur`an sebagai alat pembenaran, bukan sumber kebenaran. Al-Qur`an tidak lagi menjadi imâm yang harus diletakkan di depan, tetapi dijadikan sebagai ma`mûm yang mengikuti kehendak pikiran dan hawa nafsu.


Ibnu Taimiyah menyebutkan, kesalahan dalam tafsir, khususnya yang menggunakan pendekatan rasional (tafsîr bi al-ra`yi) dan isyâriy, terjadi karena dua faktor, pertama: seorang penafsir memiliki pandangan tertentu kemudian mencari pembenarannya dari Al-Qur`an; kedua : menafsirkan Al-Qur`an sesuai makna bahasa, tanpa memperhatikan konteks penyebutan dan pemahaman bangsa Arab yang menerima Al-Qur`an.


Kesalahan karena faktor pertama mengambil dua bentuk, pertama : konsep makna yang akan dibangun benar (madlûl), tetapi argumentasi atau dalil yang digunakan tidak tepat karena tidak mengarah ke situ. Bentuk kedua, konsep atau makna (madlûl) yang akan dibangun keliru, demikian pula dalil atau argumentasinya. 


(bersambung 4/8)


Comments

Popular posts from this blog

Mengenai Masjid Al Mukarramah

Ucapan Lemah Lembut pada Orang Tua

Malu Pada Subuh Mereka