KISAH AGAMA AHMADIYAH (1/8)


Kami coba turunkan tulisan yg cukup panjang 8seri untuk lebih dalam mengetahui apa dan bagaimana Ahmadiyah


Sumber :

Ditulis oleh Dr.Fahmy Zarkasih


Sumber: http://www.insistnet.com/


KISAH AGAMA AHMADIYAH


Sejak Mirza Ghulam Ahmad (1840-1908) menyebarkan ajarannya di India, hubungan umat Islam dan pengikut Ahmadiyah selalu diwarnai ketegangan. Bahkan, beberapa kali terjadi pertumpahan darah. Ahmadiyah, ibarat duri dan "fitnah" yang sepertinya sengaja ditanamkan dan dipelihara oleh pihak-pihak tertentu.

Menyadari dahsyatnya "fitnah" ini, para pemimpin dan tokoh Islam India telah lama mencoba sekuat tenaga, baik dengan pena maupun lisan, untuk meredamnya. Diantara mereka adalah Syeikh Muhammad Husein al-Battalawi, Maulana Muhammad Ali al-Monkiri (pendiri Nadwatul Ulama India), Syeikh Thana'ullah al-Amritsari, Syeikh Anwar Shah al-Kashmiri, dan Seyyed Ata'ullah al-Bukhari al-Amritsari. Tidak ketinggalan juga filosof dan penyair Muhammad Iqbal.


Tahun 1916, para ulama sudah mengeluarkan fatwa tentang "kekafiran kaum Ahmadiyah/Qadiyaniyyah". Seluruh ulama, secara ijma' dalam fatwa ini menyatakan bahwa pengikut Ahmadiyah/Qadiyaniyyah adalah kafir dan keluar dari agama Islam. Pada tahun 1926, kantor Ahlul Hadits di Amritsar juga mengeluarkan fatwa serupa dengan judul "Batalnya Nikah Dua Orang Mirzais" yang ditandatangani oleh ulama aliran/mazhab/kelompok/markazIslam di seluruh anak benua India (lihat: Mawqif al-Ummah al-Islamiyyah min al-Qadiyaniyyah. Multan: Majlis Tahaffuz Khatm al-Nubuwwah. 76-7).


Adapun Muhammad Iqbal, melalui goresan penanya menyeru pemerintahan kolonial Inggris di India untuk segera menghentikan "fitnah" ini dengan mendengarkan dan mengabulkan tuntutan-tuntutan kaum Muslimin India dalam kaitannya dengan gerakan dan/atau ajaran Ahmadiyah. Dalam salah satu risalahnya yang dikirimkan ke harian berbahasa Inggris terbesar di India, Statesman, edisi 10 Juni 1935, dia menyatakan: "Ahmadiyyah/Qadiyaniyyah adalah upaya sistematis untuk mendirikan golongan baru diatas dasar kenabian yang menandingi kenabian Muhammad (s.a.w.)."


Iqbal juga meminta pertanggung-jawaban pemerintah kolonial Inggris atas kejadian "fitnah" ini seraya memperingatkan jika pemerintahan tidak memperhatikan keadaan ini dan tidak menghargai perasaan kaum Muslimin dan dunia Islam, tapi malah membiarkan "fitnah" bebas leluasa, maka umat Islam yang merasa kesatuannya terancam bukan tidak mungkin akan terpaksa menggunakan kekuatan untuk membela-diri (Mawqif, 88-9).


Sayangnya seruan, saran, dan tuntutan ini tidak pernah didengar. Syeik Maulana Muhammad Yusuf al-Bannuri dalam kata pendahuluannya untuk buku Mawqifal-Ummah al-Islamiyyah min al-Qadiyaniyyah mencatat peran Zafarullah Khan, seorang politisi Qadiyani, yang pernah diangkat sebagai menteri luar negeri Pakistan yang baru merdeka itu. Menteri ini dengan menyalah-gunakan otoritas diplomasinya berhasil membangun jaringan Ahmadiyyah internasional, disamping memperkuat posisi kelompok ini di dalam negeri.


Fakta inilah yang kemudian memicu demonstrasi besar-besaran oleh umat Islam pada 1953 di Pakistan. Tahun 1953, 33 tokoh dan ulama besar yang mewakili berbagai partai,  kelompok dan organisasi Islam di Pakistan, mengadakan pertemuan di Karachi. Pertemuan melahirkan sebuah resolusi yang diajukan ke Majlis Nasional (National Assembly). Isinya menuntut  pemerintah untuk:(i) mengumumkan bahwa pengikut Mirza Ghulam Ahmad dengan nama apa pun adalah bukan Muslim; dan (ii) mengeluarkan keputusan resmi untuk melakukan amandemen konstitusional sebagai dasar hukum yang menjamin hak-hak pengikut Ahmadiyah/Qadiyaniyyah sebagai golongan minoritas non-Islam

(bersambung 2/8) 


Comments

Popular posts from this blog

Mengenai Masjid Al Mukarramah

Ucapan Lemah Lembut pada Orang Tua

Malu Pada Subuh Mereka