Orang Awam Wajib Taqlid Kepada Ulama (2)




Orang Awam Wajib Taqlid Kepada Ulama
Image result for taqlid
B. Pengertian Taqlid
Secara bahasa kata taqlid (التَّقْلِيدُ) merupakan mashdar dari kata qallada (قَلَّدَ) yang berarti mengikatkan sesuatu dileher seseorang. [2]. 
Sedangkan secara istilah, setidaknya terdapat dua definisi berbeda terkait pengertian taqlid.
1. Pengertian Pertama
Definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqih, yaitu:
قَبُول قَوْل الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ
"Menerima/mengikuti perkataan orang lain yang (perkataannya) tidak bersifat hujjah."
Seperti seorang yang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama. Sedangkan jika perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah SAW atau perkataan ulama yang telah menjadi ijma' maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.[3]
2. Pengertian Kedua
الأْخْذُ بِقَوْل الْغَيْرِ مَعَ عدم مَعْرِفَةِ دَلِيلِهِ
"Mengambil perkataan/pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar/dalil dari perkataan tersebut."
Seperti layaknya seorang awam atau anak kecil yang baru belajar tata cara shalat tanpa ia mengetahui dalil-dalil dari amalan yang ia lakukan.
Definisi ini dinyatakan oleh beberapa ulama seperti imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan imam Asy Syawkani untuk menetapkan tingkatan ittiba' antara tingkatan ijtihad dan taqlid. Di mana mereka mengatakan bahwa ittiba' adalah mengambil pendapat orang lain sembari ia tahu dalil yang mendasari pendapat ini.[4]
Hanya saja menurut penulis definisi yang kedua ini mengandung kelemahan dari beberapa sisi:
Pertama : Pendapat ini diambil oleh minoritas ulama, bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa telah terjadi ijma' di antara ulama bahwa manusia terbagi dua; mujtahid dan muqallid. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Rusyd, Abu Hamid Al Ghazali dan imam Al Harawi.
Kedua : Terlepas seseorang mengatahui dalil yang mendasari pendapat seorang mujtahid atau tidak, maka ia pada ada dasarnya tetaplah muqallid (bertaqlid) kepada mujtahid tersebut. 
Sebab meskipun ia tahu dalil pendapatnya, tetaplah ia masih tidak mampu untuk menetapkan sebuah dalil atas sebuah masalah yang dihadapi kecuali jika yang bersangkutan telah mencapai derajat mujtahid yang dibuktikan dengan pengetahuannya yang mendalam terhadap perangkat-perangkat ijtihad sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Al Ghazali ketika menjelaskan tentang syarat-syarat mujtahid : 
"Harus mengetahui lengkap dalil-dalil syar'i (madarik asy syar') yaitu dengan mengetahui dalil-dalil yang membuahkan hukum dan mengetahui tata cara membuahkannya. 
Adapun dalil yang membuahkan hukum ada empat: (1) Al Qur'an (2) As Sunnah (3) Al Ijma' (4) Akal. Sedangkan tata cara membuahkannya dengan empat ilmu, dua ilmu pokok yaitu (1) ilmu tentang cara menetapkan dalil atas sebuah masalah (ushul fiqih) (2) ilmu bahasa Arab dan nahwu, dan dua ilmu penyempurna yaitu (1) nasikh mansukh (2) ilmu musthalah hadits." [5]
Ketiga : Atau bisa pula dua definisi di atas disingkronkan (al jam'u wa at tawfiq) dengan menyimpulkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai mujtahid pada masalah yang ia dapat berijtihad di dalamnya dan ia disebut pula sebagai seorang muqallid dalam masalah yang lain. Dan ini adalah maksud dari ucapan ulama, "Sesungguhnya baik ijtihad maupun taqlid bisa saja terbagi-bagi". [6]
Keempat : Selain itu, jika merujuk kepada definisi pertama bahwa taqlid adalah mengikuti ucapan ulama yang pada dasarnya bukan merupakan hujjah, akan tetapi kita tahu bahwa ulama yang boleh diikuti ucapannya adalah ulama yang mempunyai kapabilitas berijtihad dan kemampuan memamahi dalil-dalil Al Qur'an dan As Sunnah secara luas, seperti empat imam mazhab; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal. Dan kita ber-husnu dzan (berprasangka baik) kepada mereka bahwa pastilah pendapat-pendapat mereka didasari atas sebuah dalil. 
Syaikh Waliyullah Ad Dahlawi berkata, "Ketahuilah bahwa sesungguhnya mengambil mazhab 4 (dalam menjalankan agama) adalah maslahat yang besar dan berpaling darinya secara keseluruhan adalah bencana yang besar." [7]
أن هذه المذاهب الأربعة المدونة قد اجتمعت الأمة أو من يعتد به منها على جواز تقليدها إلى يومنا هذا وفي ذلك من المصالح ما لا يخفى لا سيما في هذه الأيام التي قصرت فيها الهمم وأشربت النفوس الهوى وأعجب كل ذي رأي برأيه
"Sesungguhnya empat mazhab yang telah terkodifikasi ini telah disepakati oleh umat akan bolehnya bertaqlid kepada mereka hingga hari ini. sebab di dalamnya terdapat kemaslahatan yang tidak diragukan lagi, apalagi di saat banyak orang kehilangan semangat (dalam menuntut ilmu), takluknya jiwa oleh hawa nafsu, dan setiap diri merasa 'ujub (benar sendiri) dengan pendapatnya."
C. Dalil-dalil Wajibnya Bertaqlid kepada Ulama
Dalam kitabnya, Alla Mazhabiyyah, DR. Said Ramadhan Al Buthi menyebutkan sejumlah dalil atas wajibnya seorang yang awam bertaqlid kepada pendapat ulama yang mumpuni.
1. Firman Allah SWT:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. An Nahl: 43).
Dan sudah menjadi konsensus ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalil sebuah masalah untuk ittiba' (taqlid) kepada orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqih berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.
2.  Ijma' Ulama
Sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulullah SAW berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semuanya ahli fatwa (mujtahid). 
Dan sudah jelas bahwa agama diambil dari semua shahabat, tetapi mereka ada yang mempunyai kapasitas berijtihad dan itu relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah semua shahabat, serta di antaranya juga ada mustafti atau muqallid dan shahabat yang termasuk golongan ini berjumlah sangat banyak. 
Dan seorang shahabat yang menjadi mufti tidak setiap menyebutkan hukum selalu memaparkan dalilnya kepada si penanya.
Di samping itu, Rasulullah SAW juga mengutus seorang faqih dari kalangan shahabat ke berbagai daerah yang penduduknya tidak tahu menahu tentang hukum Islam kecuali akidah Islam dan keyakinan rukun-rukunnya saja. Dan kemudian mereka mengikuti apa saja yang difatwakan oleh shahabat tersebut dan mendorong mereka mengikutinya dalam praktik amaliyyah, ibadah, muamalah dan macam ragam urusan halal dan haram.
Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa bab taqlid dan meminta fatwa, mengambil dalil akan wajibnya orang awam bertaqlid, ia berkata, "Aku mengambil dalil atas hal tersebut dengan dua jalan, salah satunya adalah ijma' shahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam dan tidak memerintahkan mereka supaya menggapai derajat ijtihad. Dan hal itu sudah maklum secara pasti serta mutawatir dari ulama dan yang awam dari mereka."[8]
Al Amidi dalam Al Ihkam berkata, "Adapun dalil ijma' nya, orang-orang awam di masa shahabat dan tabi'in, sebelum munculnya orang-orang yang menyelisihi, selalu meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikutinya dalam kaitan hukum-hukum syariat. Ulama yang mujtahid tersebut bergegas menjawab hukum tanpa menyebutkan dalilnya, dan faktanya shahabat tidak ingkar dan tidak melarang. Hal itu menjadi ijma' akan bolehnya orang awam mengikuti mujtahid secara mutlak." (Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, 2/171).
3. Dalil Akal
Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqih, pilihannya hanya ada dua; antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid. 
Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena ia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya, dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama, sehingga pekerjaan dan profesi maisyah pastilah akan terbengkalai. Klimaksnya, dunia ini akan rusak. Dan pilihan terakhirlah yang ditempuh, yaitu taqlid.[9]
Sedangkan terkait perkataan emapat imam mazhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama-ulama bahwa khitab larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang tidak mampu berijtihad dari Al Qur'an dan Al Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. [10]
Wallahua'lam bis asshawab

Isnan Anshari, Lc., MA
Catatan Kaki :
[1] Lihat: Ibnu Rusyd Al Hafiid, Adh Dharuri fie Ushul Al Fiqh 1/94, Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustahasfa, h. 382-383.
[2] Raudhah An Nadzir 2/449
[3] Syarh Musallam Ats Tsubut 2/400, Raudhah An Nadzir 2/450
[4] I'lam Al Muwaqqi'in 4/192, 236
[5] Al Musthashfa 1/342-343. 
[6] Said Ramadhan Al Buthi, Alla Mazhabiyyah Akhtar Bid'atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah
[7] 'Iqd Al Jid fi Ahkam Al Ijtihad wa At Taqlid h. 20). Dan beliau berkata dalam kitabnya, Al Inshaf fi Bayan Asbab Al Ikhtilaf, (h. 97
[8] Al Mustashfa 2/385
[9] Alla Mazhabiyyah: Akhar bid'atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah, h. 70-73, Takhrij Ahadits Al Luma' h. 348. 
[10] Al-Mizan Al-Kubra 1/62


Comments

Popular posts from this blog

Mengenai Masjid Al Mukarramah

Ucapan Lemah Lembut pada Orang Tua

Malu Pada Subuh Mereka