Orang Awam Wajib Taqlid Kepada Ulama (1)
Orang Awam Wajib Taqlid Kepada Ulama
Bisa jadi ia juga akan menyimpulkan bahwa khamer atau minuman yang memambukkan hukumnya adalah halal bahkan merupakan salah satu rezeki yang baik dari Allah.
Kira-kira apa yang dipahami seorang yang awam tatkala membaca terjemahan ayat-ayat berikut, khususnya pada potongan ayat berikut ini :
"Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah. Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. " (QS. Al An'am: 114).
Bisa jadi seorang awam yang membaca beberapa ayat di atas akan menyimpulkan bahwa, dasar hukum yang berlaku dalam Islam hanyalah Al-Quran semata sebagaimana pemahaman orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW.
"Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik." (QS. An Nahl: 67). Bisa jadi ia juga akan menyimpulkan bahwa khamer atau minuman yang memambukkan hukumnya adalah halal bahkan merupakan salah satu rezeki yang baik dari Allah.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda" (QS. Ali Imron: 130).
Bisa juga dia akan menyimpulkan bahwa memakan harta yang dihasilkan dari proses yang riba tidaklah haram jika sedikit dan tidak berlipat ganda.
Padahal, bagi yang sedikit banyak membaca pendapat-pendapat ulama terkait ayat-ayat di atas, dapat memastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan di atas adalah keliru.
A. Instrumen Dalam Memahami Al-Quran
Dalam memahami ayat-ayat Al Qur'an, dibutuhkan banyak instrumen, yaitu berbagai ilmu penunjang. Maksudnya agar kita mendapatkan pemahaman yang benar, sebagaimana diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di antaranya adalah kaedah-kaedah tafsir Al-Quran, asbabunnuzul, ilmu tentang as-saabiq dan al-laahiq, an-nasikh dan al-mansukh, dalalah al-alfadz, al-manthuq dan al-mafhum, al-'am dan al-khas, al-muqayyad danal-muthlaq, musthalah al-hadits dan lainnya.
Sebagai satu contoh, terkait ayat ke-114 dari surat Al-An'am. Ayat ini seringkali dipakai (dicomot) oleh orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW untuk melegitimasi keyakinan mereka terkait sumber hukum dalam Islam. Dimana mereka mengatakan bahwa hanya Al-Quran sajalah yang dapat menjadi sumber atau standar hukum dalam Islam.
Sedangkan sunnah dan sumber lainnya tidak diperlukan. Alasannya, karena Al-Quran dianggap telah merinci (mufashshal) semua masalah dan tidak memerlukan rincian lainnya.
Padahal jika mereka ingin jujur dan konsisten dalam keyakinannya, mereka pasti akan pula menjadikan Sunnah Nabi sebagai dasar hukum yang juga dilegitimasi oleh Allah SWT dalam banyak ayat Al Qur'an, sebagaimana pula pada ijma' dan qiyas.
Atau jika mereka menggunakan konsep as-saabiq dan al-laahiq dalam membaca ayat di atas, pastilah kesimpulan mereka bahwa Al Qur'an telah merinci setiap masalah agama bahkan dunia akan terbantahkan dengan sendirinya.
Allah SWT berfirman:
"Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu (QS. Al An'am: 111-114).
Berdasarkan konsep as-saabiq (membaca korelasi sebuah ayat dengan ayat sebelumnya), kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Quran yang Allah turunkan dengan terperinci adalah terkait dengan masalah ukhrawi atau masalah ghaib.
Sedangkan untuk masalah-masalah hukum seperti shalat, zakat, haji dan lainnya, Allah tidak menurunkan penjelasannya secara rinci. Allah menugaskan rasul-Nya untuk menjelaskan rincian hukum-hukum tersebut yang selanjutnya diteruskan oleh ulama-ulama yang mewarisi ilmu para rasul.
Allah SWT berfirman:
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan." (An Nahl: 44).
"Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (An Nahl: 64).
Di samping itu, tidaklah mungkin terjadi kontradiksi/pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya, sebagaimana ketetapan Allah SWT, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS. An Nisa: 82).
Dalam konteks memahami nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits inilah, akhirnya para ulama menetapkan bahwa wajib seorang yang awam, -yaitu orang-orang yang tidak memiliki kompetensi sebagai mujtahid serta tidak memiliki ilmu-ilmu atau perangkat-perangkat untuk berijtihad-, untuk bertanya dan mengikuti pendapat-pendapat ulama yang mumpuni dan diakui. Atau dalam literatur fiqih disebut dengan taqlid. [1]
Bukankah dalam perkara dunia saja hal ini merupakan suatu yang lumrah terjadi. Seorang yang sakit umumnya tanpa berpikir panjang akan menuruti saran-saran dokter untuk kesembuhannya. Hal yang sama pun berlaku dalam masalah agama, bahkan dirasa lebih urgen, sebab dimensi agama mencakup dunia dan akhirat.
Yang tentunya dibutuhkan kehati-hatian yang lebih agar amalan yang dilakukan sesuai dengan koridor yang diinginkan oleh Allah dan Rasulnya.
-Bersambung-
Isnan Anshari, Lc., MA
Catatan Kaki :
[1] Lihat: Ibnu Rusyd Al Hafiid, Adh Dharuri fie Ushul Al Fiqh 1/94, Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustahasfa, h. 382-383.
Comments
Post a Comment