Surga Kita di Dunia



Rumah yang nyaman untuk di tempati tidak harus rumah yang luas sekali sehingga interaksi dan komunikasi bisa jarang terjadi. Atau dengan fasilitas yang serba lux yang membuat orang kurang pandai bersyukur, seringkali bermalas-malasan dan membuat sifat materialistik, individual (egois) dan hedonis. Di antara tanda-tanda kebahagiaan seseorang adalah mempunyai rumah yang lapang, begitu sabda Rasulullah saw. Rumah yang lapang dapat berarti rumah yang ukurannya luas secara fisik dengan segala fasilitas yang cukup memadai untuk memenuhi keperluan-keperluan hidup bagi semua anggota keluarga; di samping memenuhi standar kesehatan, syarat kenyamanan dan kebersihan, dan juga memenuhi kriteria yang digariskan oleh syari'at Islam. Rumah yang lapang juga mengandung pengertian rumah yang dihuni oleh keluarga yang anggota-anggotanya mengkondisikan rumahnya itu agar tercipta keamanan dan kenyamanan. Pengertian yang kedua ini yang akan kita bahas lebih mendalam pada tema kali ini.

Rumah yang Lapang
Rumah yang lapang untuk ditinggali tidaklah berdiri sendiri. Ia menghajatkan banyak pihak untuk saling membantu merealisasikannya. Di samping kebaikan dan kesalehan anggota-anggota dalam rumah itu, kecukupan dalam kebutuhan finansial dan material, juga lingkungan sekitar mendukung terciptanya keramahan, kenyamanan, dan keramahan agar semua orang merasa "betah" untuk tinggal. Rasulullah saw. juga pernah bersabda: "Tetangga dahulu sebelum rumah kita." artinya seseorang yang menginginkan bangunan rumahnya nyaman maka mau tidak mau harus berhubungan baik dengan tetangga-tetangganya dan tetangganya juga berlaku baik kepadanya. Saling timbal balik. Rasulullah saw. banyak memberikan contoh bagaimana beliau berlaku baik dengan tetangganya, sampai-sampai beliau mengatakan, "Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan lisan  dan tangannya." Juga menjadi syarat keimanan seseorang adalah memuliakan tetangganya, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia wajib memuliakan tetangganya."

Membangun Kenyamanan Keluarga
Allah berfirman: Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). "Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Q.S Al-Fath : 4).

Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa ketenangan dan ketentraman hati hanya mampu di munculkan oleh Sang Pencipta. Itupun hanya diberikan kepada mereka yang beriman. Karena itu pulalah baiti jannati tidak akan mampu di bangun kecuali dengan landasan agama. Landasan agama yang paling utama adalah perilaku shalat. Allah menyatakan dalam Qur'an bahwa: "Shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar"; "Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku"; "Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik." Rasulullah saw. bersabda: "Shalat adalah tiangnya agama". Kenyamanan keluarga bisa terwujud dalam keluarga yang mampu menjaga pelaksanaan shalat anggota keluarga. Terutama shalat wajib 5 waktu sehari semalam. Lebih baik lagi kalau ditambah dengan shalat sunnah.

Di ayat itu, kata "sakinah" di terjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini merupakan suasana psikologi yang melekat pada setiap individu yang mampu melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya dapat diciptakan oleh dirinya sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi orang lain.

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." 
(Q.S Ar-Rum : 21).

Jadi, kata "sakinah" yang digunakan untuk menyifatkan kata "keluarga" merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan ketenangan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.

Dengan cara pandang itu, kita dapat pastikan bahwa akar masalah yang banyak melanda kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah karena rumah sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami tidak lagi menemui suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula isteri. Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemui suasana nyaman di luar rumah. Maka, sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah konsep keluarga yang dapat memberikan ketenangan psikologi –walaupun kadang-kala secara fisikal tampak jauh di bawah standard nyaman. Nabi saw. bersabda: "Kembalilah kalian kepada keluarga, tegakkan (nilai-nilai Islam) di dalamnya, ajarilah (kebaikan), dan suruhlah (setiap anggotanya berbuat ketaatan)." 
(H.R Bukhori).

Lunturnya Semangat Sakinah
Membangun sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan bentangan proses yang sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya pun bukan hal yang sederhana. Kasus-kasus keluarga yang terjadi di sekitar kita dapat menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi kita untuk berusaha keras mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah kita.

Sementara saat ini  pergeseran nilai sosial semakin keras menghantam keluarga kita. Di sisi lain, ketahanan keluarga semakin rapuh karena ketidakpastian pegangan. Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab utama terjadinya pergeseran nilai dalam rumah tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup bertahan dengan norma-norma dan jati diri keluarga kita yang asli? Bukankah orang tua-orang tua kita telah membuktikan bahwa norma-norma yang mereka anut telah berhasil mengantarkan mereka membentuk keluarga normal dan berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri kita yang seperti sekarang ini? Lantas, mengapa kita harus larut dengan segala riuh-gelisah perubahan zaman yang kadang membingungkan?
Transformasi budaya luar yang cenderung bebas nilai, tidak bisa  kita hindari. Arusnya deras masuk ke rumah kita lewat media informasi dan komunikasi.

Kini, setiap sajian budaya yang kita konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam telah menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran baik-buruk tidak lagi bersumber pada moralitas universal yang berlandaskan agama, tapi lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang dibentuk untuk tujuan pragmatis dan bahkan hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini telah membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan keluarga dan masyarakat kita. Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah menjadi "masyarakat baru" dengan wujud yang semakin kabur.

Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena "married by accident" telah jadi model terbaru yang digemari banyak pasangan.  Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk sekadar menyapa anak-anaknya. Anak pun dewasa dengan harus menemukan jalan hidupnya sendiri. Mencari sendiri ke mana harus memperoleh pengetahuan, dan harus mendiskusikan sendiri siapa calon pendampingnya. Semuanya berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah kehilangan daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan hidupnya yang berbeda-beda, maka bangunan "baiti jannati", rumahku adalah surgaku, akan semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin sulit terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah terpikirkan. Yang ada hanyalah "neraka" yang tidak henti-hentinya membakar suasana rumah tangga.

Bagaimana mereka akan merasa betah di rumah?; bagaimana mereka bisa menggapai kebahagiaan? Benarlah apa yang sampaikan Rasulullah bahwa kuncinya harus kembali kepada keluarga, menata keluarga agar menepati perintah-perintah Allah swt. lebih mendekat lagi kepada-Nya, dan mengikuti sunnah Rasulullah saw.  "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (Q.S At-Tahrim : 6) 

Kasori Mujahid



Comments

Popular posts from this blog

Mengenai Masjid Al Mukarramah

Ucapan Lemah Lembut pada Orang Tua

Malu Pada Subuh Mereka