Merangkai Disiplin
Seri : Akhlak |
SEUSAI ustadz menjelaskan rakaat-rakaat shalat, seorang anak bertanya: "Mengapa tidak sekalian saja tujuh belas rakaat?" Anak yang baru duduk di kelas dua Madrasah Ibtidaiyah ini penasaran. Dari seluruh rakaat shalat yang berjumlah tujuh belas dalam tempo sehari semalam, dia berpikir mengapa tidak sekaligus dilaksanakan dalam satu waktu. Bahkan anak itu juga sempat memberi alasan. "Laksanakan saja seluruhnya pada waktu shubuh atau waktu maghrib, biar tenang dan tidak mengganggu waktu belajar dan bermain di siang hari," paparnya singkat. Ustadz tidak kalah pintar. Anak itu tidak langsung disalahkan. Ustadz menjelaskan dengan memberi contoh yang lain. "Nah, kalau shalatnya disekaliguskan," sela ustadz sambil mengajak anak berpikir, "Bagaimana kalau makan juga disekaliguskan, jangan tiga kali dalam tempo sehari?" Ustadz nampak berusaha menemukan argumentasi untuk memberikan penjelasan atas pertanyaan kritis anak tadi. Penjelasan singkat itu ternyata belum membuahkan hasil. Anak masih bertanya-tanya, dan bahkan penjelasan itu telah memicu terjadinya diskusi kecil yang melibatkan anak-anak lainnya. "Gak bisa ustadz, nanti perutnya tidak bisa menampung makanan untuk satu hari", sanggah seorang anak lagi. "Kata dokter juga kalau makan jangan disekaliguskan," timpal yang lainnya. "Tapi kalau bulan puasa kan bisa," sanggah yang lainnya lagi. "Waktu buka puasa kita makan sekaligus, sampai perut penuh, sehingga siang bisa bertahan tidak makan apa-apa," lanjutnya meyakinkan. Ustadz yang pernah menghabiskan waktu hampir sepuluh tahun di pesantren itu tentu bukan tidak punya alasan. Tapi yang tidak mudah baginya adalah merumuskan alasan yang mudah diterima anak. Ustadz sebetulnya ingin menjelaskan dalam kaitannya dengan tema disiplin hidup. Sebab, menurut pemahamannya, pembagian waktu shalat itu, salah satunya, mengandung makna disiplin. "Hidup itu harus disiplin," gumamnya sambil menatap satu persatu wajah cerdas anak-anaknya. Dia mulai mengingat-ingat isyarat Alquran (4: 103) yang menjadi dasar pembagian waktu dalam shalat (kitâban mauqûta). Dia juga mulai tergoda untuk membuka-buka kembali pikiran tentang landasan dibolehkannya menggabungkan dua waktu shalat (shalat jamak), atau meringkas jumlah rakaatnya (shalat qashar), dan bahkan kedua-duanya sekaligus (jamak dan qashar). Jadi, dengan begitu, argumentasi dengan mengambil tamsil makan yang tidak bisa digabungkan itu, sesungguhnya tidak akan menjawab pertanyaan anak. Toh, karena alasan-alasan tertentu, kita dapat menggabungkan pelaksanaan dua waktu shalat, seperti Dzuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya. Untuk sementara, ustadz hanya bisa menjelaskan bahwa dengan tidak menggabungkan seluruh waktu shalat, kita bisa melakukan lebih banyak wudlu agar badan tetap bersih; melakukan lebih sering gerakan badan agar tubuh tetap sehat; dan dengan cara berjamaah kita akan lebih sering bertemu untuk memelihara tali silaturahmi. Di tengah kelelahan kerja yang biasa dilalui sejak pagi hingga sore hari, dengan shalat kita juga diingatkan untuk sejenak beristirahat di waktu Dzuhur, sehingga kita dapat memperoleh kembali kondisi segar. Dalam alur seperti itu, terdapat harmonisasi gerak tubuh yang bukan saja dapat mengistirahatkan saraf-saraf otot yang mungkin lelah dengan kesibukan atau pekerjaan, tapi juga menenangkan suasana psikologis yang sering tegang menghadapi persoalan. Beberapa bagian tubuh kita dibasuh, menyegarkan kembali pori-pori yang telah mengering atau terbalut keringat. Semuanya mengalir mengikuti irama waktu yang telah ditentukan. Sejak Shubuh hingga Dhuhur, dari Dhuhur sampai Ashar, dan demikian seterusnya. Seolah ada gerakan mekanik yang menghidupkan kembali fungsi-fungsi organ tubuh sesuai beban pekerjaan yang berbeda-beda. Shalat tidak bisa dilaksanakan pada sembarang waktu. Alquran sendiri telah mengisyaratkan adanya pembagian waktu itu, baik di kala siang maupun malam. Nabi bahkan mencontohkannya dengan memelihara pelaksanaan shalat di awal waktu. Dengan tidak menunda-nunda pelaksanaan shalat berarti kita telah memelihara ritme gerakan tubuh sesuai fungsi yang dibutuhkan. Sebab tubuh manusia memiliki cara kerja sendiri, baik berkaitan dengan bentuk gerakannya maupun frekuensi serta ritme pelaksanannya. Secara biologis, penyimpangan terhadap proses mekanis seperti itu biasanya dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi-fungsi tubuh. Mungkin, di sinilah arti penting shalat dalam memelihara kesehatan tubuh. Jika sejak awal shalat telah diwajibkan sebanyak lima kali sehari semalam, maka hitungan itu telah disesuaikan dengan kebutuhan recharging fungsi-fungsi fisiologis ataupun psikologis. Pengurangan frekuensi waktu dari lima menjadi tiga atau empat hanya boleh dilakukan jika keadaan darurat. Sebab keringanan untuk menggabungkan (menjamak) dan meringkas (mengqashar) shalat hanya dapat dilakukan dengan alasan tertentu. Seseorang tidak bisa sembarangan melakukannya. Ia terikat pada ketentuan-ketentuan yang, meskipun sangat interpretatif, secara umum disepakati. Kondisi darurat ataupun sedang dalam perjalanan (musafir) menjadi salah satu alasan untuk melakukannya, meskipun pada praktiknya kedua alasan itu juga masih membuka silang pendapat. Inilah di antara hikmah mengapa shalat tidak dilakukan sekaligus tujuh belas rakaat untuk jangka waktu sehari semalam. Shalat sejatinya dapat memelihara kontinuitas kebajikan. Sebab kebajikan merupakan senyawa antara perilaku dan motivasi yang dapat menenangkan pikiran. Kebajikan tidak pernah menjadi beban pikiran, perasaan, ataupun tindakan. Karena itu, untuk memelihara harmonisasi fungsi-fungsi fisik dan psikis yang ada di sekitar tubuh manusia, diperlukan alat kontrol yang dapat membimbing perilaku. Shalat juga dapat memelihara diri dari berbagai penyimpangan. Seperti diisyaratkan Alquran (29: 45), jika dilaksanakan secara benar, shalat dapat mencegah perilaku buruk dan munkar. Pencegahan perilaku buruk ini menjadi pesan sosial yang melekat pada ajaran shalat. Kesetaraan, ketulusan, kesucian, ketaatan, dan sikap saling menghargai adalah di antara pesan-pesan sosial yang menjadi misi penting ibadah shalat. Sikap-sikap itulah yang kemudian menjadi fasilitas proses pembiasaan yang pada gilirannya akan membentuk perilaku disiplin. Dalam konteks seperti inilah, saya kira, shalat menjadi alat kontrol efektif untuk mendisiplinkan perilaku. Sementara disiplin merupakan bagian yang sangat berarti bagi kehidupan. Tidak sedikit gangguan kesehatan timbul karena problem disiplin. Gara-gara tidak disiplin makan, misalnya, muncul gangguan pencernaan yang secara medis bukan sesuatu yang sederhana. Kurang disiplin tidur, baik karena terlalu banyak, terlalu sedikit, atau karena waktu yang tidak menentu, dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi-fungsi saraf. Terapinya, seperti disarankan banyak ahli, sangat sederhana: disiplin! sumber : www.alhikmahonline.com |
Comments
Post a Comment