Pernahkah kita merasakan malas saat mengerjakan sesuatu padahal fasilitas yang kita miiki sudah lengkap dan apa yang sedang kita lakukan sebenarnya suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat? Pernahkah kita merasakan futur (semangat menurun) saat seseorang mengabaikan kita, tidak memuji serta tidak menghargai hasil pekerjaan baik kita?
Di sisi lain, pernahkah kita melihat orang yang kehidupannya sederhana namun selalu nampak ceria, seolah-olah tidak pernah ada masalah yang melintas dalam hidupnya? Fasilitas belajar ataupun kerjanya yang dimiliki tidak begitu memadai tapi selalu giat dan berhasil?
Ia mendapat banyak teguran dan sindiran dari berbagai pihak namun dia tetap tegar. Semangat dan keikhlasaannya tidak sedikitpun tergoyahkan? Pernahkah?
Ketahulillah bahwa yang membedakan itu semuanya adalah hati. Antara hati yang sakit dan hati yang unggul. Hati yang sakit selalu mengharapkan pemuasan segera, kekayaan yang segera dan pujian dari orang lain. Maka saat dia tidak memperoleh apa yang diharapkanakan mengalami depresi dan putus asa. Sedangkan hati yang unggul adalah yang selalu menggantungkan diripada Dzat Yang maha kaya, Dzat Yang dapat menentramkan hati, Dzat yang memberikan hikmah di balik setiap ujian dan cobannya.
Semua pasti mendambakan kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup,namun perlu diketahui bahwa rasa bahagia dan damai itu letaknya di hati.
Maka setiap yang menginginkannya harus memperhatikan bagaimana memiliki hati yang unggul.
Berikut ini adalah beberapa ciri-ciri hati yang unggul
Pertama adalah hatinya merdeka. Artinya hatinya bebas dari kekangan hawa nafsu dan syahwat. Bisyr bin Harist pernah mengatakan: "Seorang hamba tidak akan mampu merasakan nikmatnya ibadah sebelum ia mampu membuat tembok penghalang dari besi yang memisahkan antara dirinya dan syahwatnya." (Hilyatul Aulia, jil. VIII, hal. 345)
Kedua, hatinya memiliki rasa "Yaqzhah". Yaitu berupa kecemasan hati tatkala memperhatikan tidurnya orang-orang lalai. Rasa yaqzhah ini memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seseorang, di antaranya:
a. Waspada terhadap melimpahnya kenikmatan yang dapat menjerumuskannya kedalam kenistaan.
b. Selalu menghitung keburukannya, dan dikaitkan segala bentuk kerugian yang menimpanya degan dosa yang dilakukan.
Sebagaimana firman Allah : قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ مُّبِينٍ
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri." (QS. Asy-Syura [26]: 30)
Rasulullah menafsirkan ayat di atas dengan sabdanya :
بنذب لإ نيع لو قرع جلتحإ ام
"Tidaklah urat dan mata itu gemeter melainkan kerena sebuah dosa." (HR. Thabrani)
c. Mewaspadai setiap kebaikan dan ketaatan yang melahirkan kebanggaan dan kesombongan
Comments
Post a Comment